Minggu, 24 Mei 2009

FEMINISME ISLAM

FEMINISME ISLAM
(Upaya Menggugat Mitologi dan Menelanjangi Teks Bias Gender)
Oleh : Akmal Mundiri


A. Pendahuluan
Diskursus kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan memang tidak akan pernah habis untuk dikupas, ada yang antusias menyambut wacana ini dan ada juga yang mengajukan argumen keberatannya. Perdebatan-perdebatan dalam kerangka pembaharuan dan perkembangan pemikiran dalam Islam tersebut, berimplikasi kepada usaha-usaha membongkar dogma-dogma agama, menelanjangi kembali al-Qur’an, bahkan menghujat hadis. Upaya-upaya tersebut layak mendapat apresiasi sebagai upaya dalam memahami, menafsirkan, dan membumikan pesan-pesan Tuhan yang akan terus bergulir seiring dengan berkembangnya zaman dan waktu.
Tirani patriarkhi sudah terbangun sebelum Islam ada, bahkan pada era peradaban Yunani kuno, perempuan hanya menjadi alat pemenuhan seks laki-laki. Sesuatu yang terlahir dari budaya patriarkhi tersebut pada akhirnya berimbas kepada ajaran-ajaran semua agama. Persetubuhan antara tirani patriarkhi yang membudaya dengan agama, menjadi sulit dipisahkan karena menjadi sebuah dogma baru agama...

Sungguh mencengangkan ketika agama diketahui telah terlibat dalam arus besar budaya yang tidak bersikap adil terhadap kaum perempuan. Dalam artian, agama telah melegitimasi ketidakadilan terhadap kaum perempuan, meskipun ada kesepakatan kaum agamawan bahwa agama tidak mungkin memberikan peluang bagi berlangsungnya sistem yang diskriminatif pada semua aspek kehidupan, tetapi realita sosial memperlihatkan berlakunya sistem diskriminasi itu, terutama berkaitan dengan soal relasi laki-laki perempuan di tengah sector-sektor kehidupan baik dalam ruang domestik maupun publik. Di sini, tampak jelas bahwa agama bersifat ambigu, di satu sisi, agama bisa diidealkan sebagai jalan selamat, namun, di sisi lain agama hanya menjadi bumerang dan hambatan tertatanya masayarakat yang adil, egaliter, dan membebaskan.
Penafsiran teks-teks keagamaan yang mengamini adanya penindasan, tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang berupaya mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan beradab. Penafsiran terhadap teks agama tidak ramah perempuan tersebut timbul akibat penafsiran teks-teks keagamaan yang terkonstruk oleh budaya penindasan, sehingga mendistorsi pesan pesan kearifan dan kerahmatan agama (rahmatan lil alamin). Di satu sisi, budaya membentuk agama, tapi di sisi lain, agama juga bisa membentuk budaya. Oleh karena itu, perlu adanya penafsiran yang membebaskan belenggu budaya tersebut, sehingga agama kembali menebarkan sinarnya bagi masyarakat tertindas.
Dalam konteks keislaman, dialog tentang kesetaraan gender terutama yang menyangkut soal keikutsertaan perempuan dalam sektor publik sebenarnya sudah terjadi sejak periode awal Islam ketika Rasulullah saw masih hidup. Terjadinya protes perempuan lebih disebabkan tuntutan kesetaraan (antara laki-laki dan perempuan) yang mereka perjuangkan. Perempuan merasa tidak nyaman dengan konstruk sosial yang melingkupinya. Aturan, pandangan, keyakinan, bahkan bahasa agama yang digunakan terkesan mensub-ordinasi mereka. Karena ketidaknyamanan ini, kaum perempuan mulai melakukan gugatan; membongkar struktur ketidakadilan, diskriminasi, penindasan, dan kekerasan terhadap kaumnya yang makin meluas dan menguat dari waktu ke waktu. Gugatan, perlawanan, dan pembongkaran itu kadang dalam bentuk “wacana” maupun “gerakan” sekaligus. Dekonstruksi terhadap struktur peradaban patriarkhis yang telah berurat pun semakin kuat dan heroik. Asumsi kesadaran dan tindakan (konstruksi sosial) yang gender-biased pun digoyahkan dan diruntuhkan.
Dalam konteks kekinian upaya penyetaraan perempuan atas dominasi patriarkhi diperjuangkan oleh berbagai kelompok di berbagai belahan dunia. Permasalahan tersebut menjadi permasalahan global yang menembus batas serta sekat ruang dan waktu. Di Jepang kita, akan menemui Michiko, di Maroko kita akan bersua dengan pemikiran Fatima Mernissi, dan intelektual-intelektual lainnya seperti Ashgar Ali Engineer, Rifat Hasan, Kartini, dan Amina Wadud Muhsin.
Islam datang untuk memberikan kenyamanan bagi penduduk dunia tanpa membeda–bedakan jenis kelamin, suku, bangsa dan fariabel–fariabel sosial lainnya. Pesan-pesan yang dibawa dalam ajaran Islam adalah pesan-pesan yang universal yang dengan tegas mendorong umat untuk bersikap egalitarian terhadap siapa saja.
Gender differences (perbedaan gender) dewasa ini memerlukan suatu rumusan konseptual, baik berupa revolusi transenden yang mengimplementasikan keadilan social dan menjadi akar terbentuknya masyarakat yang egalitarian. Transenden yang berarti persamaan universal antara semua individu dalam masyarakat yang sama. Dalam istilah yang lebih popular, perlu adanya reinterpretasi dan rekonstruksi terhadap bangunan pemikiran keagamaan dalam konteks sosial dewasa ini, sebagai upaya melihat idealitas agama dalam realitas sosial atau sebaliknya.

B. Demaskulinisasi Epistemologi Keberagamaan
1. Feminisme: definisi dan sejarahnya
Istilah feminisme pertama kali digunakan pada abad ke-XVII. Namun, secara formal istilah feminisme muncul dalam dua periode utama, yaitu akhir abad ke-XIX dan pada awal abad ke-XX. Istilah feminisme pertama kali muncul di Amerika Serikat dan negera-negara Eropa lainnya yang menolak hegemoni laki-laki dalam kegiatan gereja. Kemunculan feminisme tidak terlepas dari konflik yang terjadi pada masa pencerahan, sautu masa dimana, rasionalisme akal dan kemajuan sangat menentang dominasi gereja.
Feminisme pada masa pencerahan berusaha menyerang ketergantungan perempuan kepada laki-laki yang terkonstruk oleh pengkondisian social, sehingga menjadi alasan bagi laki-laki untuk melegitimasi pengingkaran terhadap hak-hak perempuan. Para pemikir masa pencerahan tersebut tidak hanya menyerang dogmatisme gereja, yang membelenggu kebebasan perempuan dalam berbagai bidang.
Perkembangan pemikiran juga berimbas kepada gerakan feminisme, lahirnya para pemikir pencerahan berlanjut dengan munculnya kelompok-kelompok feminis yang memperjuangkan hak-haknya dan berupaya menggugat kemapanan kaum patriarkhi. Kelompok-kelompok tersebut dapat digolongkan berdasarkan pandangan serta gerakan yang dilakukan, Nasaruddin Umar mengkategorikannya menjadi tiga kelompok :
a. Feminisme Liberal
Tokoh-tokoh gerakan dalam aliran ini antara lain Margareth Fuller (1810-1850), Harriet Martineau (1802-1876), Susan Anthony (1820-1906), dan Anglina Grimke (1792-1873).
Kelompok ini berpikiran bahwa semua manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama, diciptakan seimbang antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, kelompok ini tidak menuntut persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan terutama dalam fungsi reproduksi, karena fungsi organ reproduksi perempuan membawa konsekwensi logis dalam kehidupan.
b. Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini diilhami oleh pemikiran Karl Marx. Adapun tokoh-tokoh dari gerakan feminisme model ini berada di wilayah jajahan komunis, yang diantara tokohnya adalah Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919).
Gerakan ini lahir akibat kondisi buruk kaum buruh saat itu. Mereka menganggap ketertindasan kaum buruh perempuan akibat system kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah. Gerakan ini berupaya menghilangkan struktur kelas dan ekonomi dalam masyarakat yang turut memberikan pengaruh terhadap status perempuan.
c. Feminisme Radikal
Aliran ini muncul pada awal abad ke-19, ketika revolusi industry sedang terjadi. Feminisme model ini berusaha menggugat semua lembaga yang merugikan perempuan. Mereka menganggap, model feminisme liberal hanya mementingkan kelas menengah, sedangkan model feminisme Marxis-Sosialis hanya mementingkan kelompok buruh.
Tuntutan yang digaungkan kelompok ini tidak hanya berkutat pada permasalahan persamaan hak dengan laki-laki, akan tetapi jauh lebih ekstrem, yang merambah pada tuntutan persamaan ‘seks’, sehingga dengan itu mereka mentolerir praktek lesbian.

Gerakan-gerakan tersebut sebagai sebuah upaya pengangkatan status dan penyetaraan, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah feminisme. Sehingga, berangkat dari sejarah lahirnya gerakan feminisme tersebut, Yunahar Ilyas mendefinisikan feminisme sebagai kesadaran akan ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah kesadaran tersebut.” Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Dari pengertian di atas terlihat jelas bahwa feminisme berupa gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan dalam struktur social bukan struktur biologis.
Dalam Islam, ajaran yang membedakannya dari agama serumpun Ibrahim adalah al-musawah (persamaan-kesetaraan). Jika ajaran Kristen dikenal dengan aura ‘kasih sayang’, dan Yahudi dengan kekuatan hukum legal formal, maka Islam berada di garis paling depan membawa misi al-musawah dalam harkat kemanusiaan. Saat Muhammad diutus bangsa Arab tengah terkotak-kotak dengan latar belakang diskriminasi social seperti kaya-miskin, bangsawan-jelata, budak-majikan, dan laki-perempuan. Makanya, misi utama Muhammad adalah mendobrak dan kemudian menghancurkan struktur social yang tidak adil tersebut. Dengan demikian, apa yang dilakukan Nabi Muhammad, adalah upaya awal dalam Islam mewujudkan masyarakat yang egaliter.
Kedatangan Islam yang dibawa Muhammad, yang ajarannya sebagai penuntun, pembawa kabar (basyir), dan membawa peringatan (nadzir) tersebut, membuat pandangan terhadap perempuan mulai berubah.
2. Melacak Akar Misoginisme
Misogynist menurut Jhon M Echol adalah kebencian terhadap wanita. Namun, secara terminology misoginis adalah sebuah doktrin aliran pemikiran yang memojokkan dan merendahkan perempuan. Istilah misoginis mulai muncul ketika pemikiran ke-Islaman dihadapkan pada realita teks hadis yang mengandung pemahaman kebencian kepada perempuan.
Budaya kebencian terhadap perempuan (misoginis) harus dilacak dari akar sejarah baik dari aspek teologis maupun sosiologis. Aspek teologis berupa akar historis munculnya pemahaman yang (misoginis). Adapun aspek sosiologis adalah akibat yang ditimbulkan dari aspek teologis dan terakumulasi dalam perjalanan sejarah manusia.
Mitos-mitos yang berkembang seputar penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki, mitos cikal bakal hidup manusia di muka bumi akibat godaan perempuan (dosa kosmis), dan mitos menstruasi yang berujung pada penempatan perempuan sebagai the second creation dan the second sex. Sehingga persepsi yang terbangun dalam pola relasi antara laki-laki dan perempuan terbangun melalui mitologi yang belum terbukti kebenarannya. Proses penciptaan laki-laki dan perempuan menciptakan ekses yang negatif terhadap kondisi perempuan sehingga mereka dipandang sebelah mata. Gambaran proses penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki menyebabkan kesan misoginis, sehingga memberikan gambaran inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki. Selain itu, penetapan atribut-atribut biologis dinilai bias gender, seorang laki-laki selain mempunyai “penis budaya” (cultural penis) juga mempunyai penis biologis (physical genital). Perbedaan-perbedaan yang demikian itulah, yang kemudian turut melahirkan multi persepsi yang turut menentukan peranan social perempuan.
Perbedaan biologis manusia (biological sphere) telah diprogramkan dalam masing-masing kromosom yang pada akhirnya mempengaruhi fungsi kodratnya. Misalnya, perempuan mempunyai fungsi kodrati reproduktif mulai dari menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Fenomena seksual yang bersifat kodrati inilah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan secara konstan.



Perbedaan Biologis Laki-laki dan Perempuan
No Determinasi Seksual Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
1.
2.
3. Fungsi reproduksi
Hormon
Kromosom/ gen Kelamin laki-laki, dll
Endrogen/testosterone
XY Kelamin perempuan, dll
Estrogen/ progesterone
XX

Perbedaan Peran Laki-laki dan Perempuan
No Peran Laki-laki Perempuan
1.
2.
3.
4.
5. Pembagian kerja
Stereotipe
Ruang lingkup kegiatan
Fungsi
Tanggung jawab Kerja maskulin
Maskulin
Public
Produksi
Pencari nafkah utama (primer) Kerja feminim
Feminim
Domestik
Reproduksi
Pencari nafkah tambahan (sekunder)

Paradigma yang terbangun dari mitologi tersebut, pada akhirnya menjadi semacam mitologi yang sulit dipecahkan ketika sudah bersetubuh dengan agama. Mitologi yang sudah terintegrasi dalam ranah agama akan menjadi sebuah keyakinan dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Cerita-cerita mitos tersebut diyakini sebagai dogma agama yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun, karena kebenaan agama adalah absolute dan bersumber dari Tuhan. Leila Ahmad, seorang peneliti masalah perempuan, yang dalam penelitiannya menggunakan pendekatan analisis sosio-kultural dan berdasarkan pemahaman teologis dari mitologi perempuan yang dianggap sebagai akar dari budaya misoginis. Dalam obyek penelitian yang difokusan pada artefak kode hokum peradaban awal sampai masa Islam, beliau menjelaskan :
- Laki-laki dapat menggadaikan istrinya atau anak-anaknya selama tiga tahun, dan apabila tidak mampu membayar utang, maka agunan gadai tersebut dapat dijadikan budak-utang.
- Seorang laki-laki dengan mudah bisa menceraikan istrinya apabila mereka tidak bisa melahirkan anak, tapi mereka berhak mendapatkan uang perceraian.
- Seorang kepala keluarga, dalam hal ini kepala keluarga laki-laki, berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan berhak mempersembahkan anak wanitanya kepada dewa, atau untuk menjadi pendeta dan kemudian tinggal di biara.
- Dibolehkannya seorang laki-laki berhubungan seksual dengan budak atau pelacur, sedangkan bagi seorang istri jika ia berzina maka akan dikenakan hukuman mati.
- Laki-laki diperbolehkan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita tanpa dikenai hukuman.
- Hukuman bagi seorang laki-laki pemerkosa adalah dengan menjadikan istrinya seorang yang terhina dan kemudian dipisahkan darinya selama-lamanya.
- Hukuman bagi seorang yang memperkosa yang belum menikah adalah dengan membayar harga seorang perawan kepada ayahnya dan kemudian mengawininya.
Dalam hukum-hukum tersebut (Hammurabi dan Assyria), perempuan terlihat sebagai benda yang bisa digantikan dengan nilai ekonomis. Kedudukan mereka sebagai seorang istri hanya dipandang sebagai alat reproduksi dan suami mempunyai hak mutlak atas mereka.
Sebenarnya, al-Qur’an sudah memberikan jawaban mengenai proses penciptaan manusia yang didasarkan pada kodrat Allah sebagaimana yang firman-Nya dalam Q.S. 54:49 yang mempunyai arti “Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan qadar”
Dalam al-Qur’an, Allah juga menyebutkan sejarah penciptaan manusia sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. al-Nisa’ ayat 1 :
 ••               
Artinya : “Hai, kalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari dari yang satu dan dari pada-Nya Allah menciptakan istrinya dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”

Pemahaman ayat di atas menjadi berbeda tatkala dihadapkan pada hadis yang mempunyai indikasi misoginis. adapun hadis tersebut berbunyi :
إستوصوا بالنساء فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج شيئ في الضلع أعلاه فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء.
“berwasiatlah kepada kaum perempuan, sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu ingin meluruskannya, maka kamu akan memecahkannya. Dan jika kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kepada kaum perempuan.”

Jika melihat pemahaman hadis tersebut, mengindikasikan adanya perbedaan penciptaan laki-laki dan perempuan. Abu Muslim al-Asfahani mencoba mengkritik matan hadis tersebut dengan mengajukan pertanyaan kegunaan dan manfaat perbedaan dalam penciptaan. Sehingga, jawaban yang muncul adalah tidak adanya pengaruh yang ditimbulkan dari proses penciptaan tersebut. Dalam proses penciptaan tersebut, Allah menekankan hikmah dari penciptaan yang berbeda, Allah mempunyai kekuasaan untuk menciptakan manusia dari berbegai bentuk.
Ayat yang bertentangan dengan hadis, akan dimenangkan oleh ayat. Ayat tersebut juga menjelaskan substansi dari proses penciptaan manusia, bahwa Adam dan Hawa sekalipun berbeda fisiknya (jenis kelamin) namun diciptakan dari jenis yang sama (min nafs wahidah). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Mahmud Syaltout sebagaimana yang dikutip oleh Suyuthi Pulungan dalam bukunya Universalime Islam, bahwa posisi perempuan adalah sebagai partner laki-laki dalam menjalankan peran social (sector domestic maupun public) maupun peran seksual.

3. Paradigma Gender dalam Islam
Gender dalam bahasa Inggris berarti jenis kelamin, maskulin untuk jenis laki-laki dan feminis untuk jenis perempuan. Dengan demikian perbedaan gender menunjuk pada perbedaan fisik manusia. Dari pengertian tersebut, apakah perbedaan fisik tersebut berakibat pada perbedaan hak, kewajiban, serta peran fungsi manusia.
Ajaran Islam datang untuk memberikan kenyamanan bagi penduduk dunia tanpa membeda–bedakan jenis kelamin, suku, bangsa dan fariabel–fariabel sosial lainnya. Di periode awal sejarah Islam, hak-hak perempuan yang mencerminkan relasi gender sangat dijunjung tinggi oleh Rasul. Walau secara teknis melalui pendekatan kebahasaan, linguistik, budaya, dan sosial Al-Qur’an terkesan telah menggariskan sejumlah norma yang memberikan ketentuan hukum yang berbeda kepada laki laki dan perempuan, namun pesan–pesan islam yang universal dengan tegas mendorong umat untuk bersikap egalitarian terhadap siapa saja.
Ada dua alasan dasar untuk menjelaskan bahwa ketimpangan relasi gender atau perlakuan yang berbeda kepada laki–laki dan perempuan seperti yang banyak dijumpai dalam diskursus keislaman tidak senapas dengan nilai–nilai dasar moralitas Islam.
a. Atas dasar kebebasan, beban hukum dan tanggung jawab. Teori hukum Islam menganjurkan bahwa seorang mukallaf hanya bertanggungjawab terhadap segala tindakan hukum yang dilakukan secara sadar, dengan kata lain, sungguh tidak logis jika kita harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang tak kita pilih. Dalam kontek ini menjadi laki laki dan perempuan secara seksual bukanlah pilihan manusia, tapi suatu ketentuan dari Allah, oleh sebab inilah pembebasan hukum yang berbeda pada laki laki secara seksual bertentangan dengan prinsip teori hukum dan moral ini.
b. Terkait dengan sifat keadilan Ilahiah. Al-Qur’an tetap konsisten untuk berlaku adil terhadap umat. Pembebanan dan perlakuan hukum yang berbeda pada laki–laki dan perempuan seperti yang dengan mudah dijumpai dalam diskursus keislaman harus dicermati dari sudut pandang ini. Artinya, jika perlakuan dan pembebanan yang berbeda tersebut diterima sebagai postulat kebenaran. Ini artinya, kita harus menerima satu kesimpulan bahwa ketimpangan relasi gender sudah terbentuk sejak jaman azali. Kebenaran asumsi ini bertentangan dengan universalitas keadilan Allah.
Jadi berdasarkan argumen di atas, kita bisa melihat perlakuan dan pembebanan hukum yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada sifat alami biologis manusia, tapi didasarkan pada pertimbangan determinisme gender (sosial, budaya, ekonomi dan politik).
Dalam kaitannya dengan persoalan laki-laki dan perempuan, prinsip dasar al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter. Sejumlah ayat al-Qur’an yang mengungkapkan prinsip ini dapat kita baca seperti:
a. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan, sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Zariyat: 56.
      
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Dalam kapasitan manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, keduanya punya potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal, yang diistilahkan dalam al-Qur’an dengan orang-orang yang bertakwa.
b. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi
Tujuan manusia diciptakan di bumi, di samping menjadi hamba yang tunduk dan patuh, serta mengabdi pada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi. (Q.S. al-An’am: 165).
               •       
“Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Lafadz khalifah dalam ayat tersebut, tidak menunjuk kepada jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifatullah fi al-‘ard. Sehingga, fungsi dari ke khalifahan adalah sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.
c. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial.
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhan-Nya. Amanah yang diberikan Tuhan mencakup tanggung jawab individual dan kemandirian. Perjanjian tersebut, Allah firmankan dalam Q.S. al-A'raf: 17:
                         •    
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”
d. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi.
Peluang untuk meraih prestasi semaksimum mungkin tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. (Ali Imran 195; al-Nisa': 124; al-Nahl: 97).
         •    •      
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.”(Q.S. al-Nahl: 97)

e. Adam dan Hawa sama-sama terlibat secara aktif dalam drama dosa kosmis.
al-Qur’an menceritakan dosa kosmis yang dilakukan keduanya dengan bentuk redaksi dua orang (huma). Seperti, ayat yang menjelaskan bahwa keduanya mendapat godaan yang sama dari setan. (Q.S. al-A’raf: 20).
•                         
“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”
Itulah sekelumit dari ayat-ayat al-Quran yang mengatur bahwa perempuan dalam Islam mempunyai kedudukan yang sama dan tempat terhormat dengan laki-laki, namun dalam realitas sosial di masyarakat, masih ada kesan negatif terhadap Islam, khususnya tentang kedudukan perempuan, di mana kenyataan sosial dan budaya memperlihatkan hubungan laki-laki dan perempuan yang timpang, kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, dimarginalkan, bahkan didiskriminasikan. Hal tersebut dapat terlihat pada peran-peran mereka, baik dalam sektor publik/domestik.
Pemikir feminisme mengemukakan bahwa posisi perempuan tersebut selain karena faktor budaya dan sosial yang memihak pada laki-laki, keadaan tumpang tindih ini juga di justifikasi oleh agama. Dimana ajaran agama dianggap sebagai ideologi patriarkhi, yang menempatkan posisi dan peranan laki-laki di atas signifikansi peran fungsional perempuan. Rumusan interpretasi teks-teks suci keislaman yang patriakhi tersebut terangkum dalam kumpulan kitab-kitab kuning sebagai referensi utama baik menyangkut aspek teologi, hukum tafsir dan tasawuf. Dalam sejarah pembentukannya oleh para ulama penerus, hal ini diambil “apa adanya” (Taken For Granted) dengan mengabaikan aspek kritisme kontektual, dengan kemudian di kodifikasikan dalam berbagai literatur keislaman klasik. Tema-tema yang memuat ketidakadilan gender antara lain :
1. Hak politik formal perempuan, seperti “perempuan tidak boleh menjadi pemimpin laki-laki atau publik, tidak boleh menjadi hakim, terutama untuk kasus-kasus pidana karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak sempurna, lemah akalnya dan tidak mampu menguasai gejolak emosional.
2. Hak ekonomi perempuan antara lain nafkah, warisan, mas kawin, pendapatan pribadi. Khusus dalam warisan, perempuan menerima setengah dari laki-laki karena dianggap tanggung jawab laki-laki terhadap keluarga lebih besar. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagian laki-laki dan perempuan dalam hal waris sama, dengan syarat terjadi perdamaian antara kedua belah pihak. Dalam artian, laki-laki merelakan bagiannya dibagi sama dengan perempuan dengan mempertimbangkan unsur kemaslahatan keduanya. Dan perdamaian dalam hal warispun diatur dalam undang-undang. Begitu juga dengan kesaksian dan hukum aqidah, perempuan dinilai dan diperlakukan sebagai mahluk setengah laki-laki.
3. Hak seksual perempuan antara lain perkawinan, hubungan seksual, aborsi, kontrasepsi, khitan dan poligami. Dalam hal perkawinan perempuan dianggap sebagai makhluk yang paling lemah dan tidak cukup mandiri untuk mengurus dirinya. Sehingga dalam banyak aktifitas hukum, mereka dipandang sebagai makhluk yang membutuhkan bimbingan laki-laki sebagai wali. Dalam hal ini perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, tapi harus melalui otoritas wali, bahkan wali dapat secara sepihak memaksa seorang anak gadis dibawah asuhannya untuk menikah dengan calon pilihan wali tersebut.
4. Aurat perempuan antara lain jilbab, mahram, dan lain-lain. Perempuan dianggap sebagai mahluk penggoda karena suara perempuan adalah aurat yang dapat mengusik gairah seksualitas laki-laki. Akibatnya, suara perempuan dalam ranah publik tidak direkomendasikan, bahkan sebagian mengharamkan, termasuk dalam hal perlombaan bacaan al-Qur’an.
C. Kesimpulan
Teori dan ide yang muncul berkaitan dengan persoalan-persoalan pola relasi antar seks. Islam menempatkan dirinya pada posisi yang unik, yang membantah adanya diskriminasi gender antara dua jenis seks yang berbeda. Lebih jauh, karena adanya perbedaan fundamental tadi, kemudian manusia mengelompokkannya menjadi dua jenis yang berbeda. Dengan demikian, hemat penulis, gender merupakan hasil konstruksi manusia ketimbang perbedaan ilahiyah.
Dalam pola relasi antara laki-laki dan perempuan, dan sebagai upaya menghilangkan disparitas posisi dan kedudukan perempuan, memerlukan langkah metodologis dalam rangka interpretasi dan redefinisi teks–teks keagamaan agar teks tersebut menjadi hidup, dan memiliki relevansi dengan ruang kontemporer. Beberapa hal yang menjadi dasar bagi langkah interpretasi tersebut adalah :
- Menjadikan maqashid al-syari’ah sebagai dasar utama penafsiran.
- Menganalisis bahasa dan konteksnya (al-siyaq al-lisany).
- Mengidentifikasi aspek (sebab akibat) dalam teks, sebagai jalan untuk merumuskan dan menganalogikan dengan kebutuhan konteks (qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid).
- Menganalisis aspek-aspek sosio historis (al-siyaq al-tarikhi al-ijtima’i) teks.
- Menganalisis secara kritis terhadap hadis (kritik sanad dan kritik matan).
Ajaran dan nilai bias gender yang selama ini berkembang dalam masyarakat terbangun di atas landasan yang keliru. Pembagian peran laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh factor biologis, tetapi terkonstruk oleh budaya. Islam memang mengakui adanya perbedaan (distinction) biologis, tetapi perbedaan tersebut tidak mengindikasikan adanya pembedaan (discrimination). Islam juga tidak merinci pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, tetapi hanya menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan antara keduanya, sehingga tercipta hubungan yang harmonis yang didasari kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dan mutual simbiose. Feminisme sebagai sebuah gerakan, berupaya menelanjangi budaya akar misoginis dan membangun paradigma yang egalitarian (al-musawah).
Tuntutan kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki menurut hemat penulis, tidak berarti kesamaan (sameness) yang hanya menuntut persamaan matematis, akan tetapi lebih kepada keadilan (al-adalah) yang sesuai dengan konteks individu. Perdebatan tentang persamaan tersebut akan mengalami klimaks ketika disesuaikan dengan fenomena saat ini. Karena ada wanita yang merasa diperlakukan adil ketika disibukkan dengan urusan rumah tangga, suami, dan anak-anaknya.
Fenomena semacam inilah yang bisa kita sebut sebagai “Contradictio Interminis“ yang mempunyai pengertian sebagai sebuah konsep yang menginginkan kebebasan individu (liberty), tapi justru dalam prakteknya dapat membuat individu yang lain menjadi tidak bebas atau tertindas. Kebebasan yag diagungkan bertentangan dengan prinsip kebebasan itu sendiri. Kebebasan (liberty) adalah kondisi di mana setiap individu (pria dan wanita) dapat berfungsi secara bebas, dapat mengembangkan kediriannya secara maksimal, serta dapat meningkatkan kepandaiannya sesuai dengan kapasitas dan karakternya masing-masing.







DAFTAR PUSTAKA

al-Alusi, Shihâbuddîn Mahmûd bin ‘Abdullah al-Husaini. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adhim wa Sab’u al-Matsani. Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
Baidowi, Ahmad. Tafsir Feminis; Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Mufassir Kontemporer. Bandung: Nuansa, 2005.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Echols, Jhon M dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1986.
Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembaran Suci; Kritik atas Hadis-hadis Shahih. Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.
Ilyas, Yunahar. Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998.
Mernissi, Fatima. Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik. Terj. M. Masyhur Abadi. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
Muslim. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
Pulungan, J Suyuthi. Universalisme Islam. Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002.
Purtanto, Pius A dan al-Barry, Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994.
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina, 2001.
Verdiansyah, Very. Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan. Jakarta: P3M, 2004.
Ahmad, Leila. Wanita dan Gender dalam Islam Akar-akar Historis Perdebatan Modern. Terj. M. S. Nasrullah. Jakarta: Lentera, 2000.
Syuqqah, Abdul Halim Abu. Kebebasan Wanita, Terj. Chairul Halim, Lc. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. cet. I.
Muhsin, Amina Wadud. Wanita di dalam al-Qur’an. Terj. Raziar Radianti. Bandung: Pustaka, 1994. cet. I.
Hasan, Riffat. Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Sejajar di Hadapan Allah, Jurnal Ulumul Qur’an. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan. Januari, Maret 1990.